Kisah Pengakuan Mantan Pecandu, Agus Justru Makin Banyak
Kenal Narkoba di RSJ
Malam sekitar pukul 23.00 Wita, tubuh Wayan Agus Arta Mudita
tiba-tiba bergetar.
Keringat dingin perlahan keluar dari pori-pori kulitnya.
Badannya meriang panas. Perlahan, seluruh bagian tubuh Agus mulai bergejolak
mengeluarkan rasa sakit yang luar biasa.
Sekitar dua jam ia menahan rasa sakit tersebut sambil
sesekali berteriak. Meski ngantuk berat ia rasakan, namun rasa sakit itu tak
membuatnya berhasil tidur.
Tak tahan dengan rasa panas di tubuhnya, Agus kemudian
menuju ke kamar mandi dengan harapan badannya lebih segar.
Namun bukannya lebih nyaman, baru sekali bilas, tubuhnya
malah makin menggigil kedinginan. Setelah kembali ke kasur, badannya kembali
panas dengan rasa sakit di seluruh tubuh.
"Waktu itu saya benar-benar tidak tahu ada apa dengan
tubuh saya. Setelah teman saya datang, dan dikasih tahu bahwa saya sakau.
Sebelumnya saya memang mengonsumsi putau empat hari berturut-turut. Di hari kelima,
uang saya habis. Saya gak makek dan timbulah rasa sakit itu," tutur mantan
pecandu narkoba kelas berat asal Batubulan, Gianyar, pekan lalu.
Kejadian itu ia alami tahun 1998 sewaktu masih duduk di
kelas dua SMA. Bagi Agus, waktu itulah awal mula hidupnya hancur gara-gara
narkoba.
Sebelumnya, ketika masih berusia 14-15 tahun, pria yang kini
akrab disapa Broklin itu memang sudah salah pergaulan.
"Sejak SMP kelas dua saya memang sudah mulai
bandel-bandel gitu. Sudah mulai ngepil-ngepil sama teman. Merokok dan
mabuk-mabukan awalnya," terang pria yang sempat beberapa kali keluar masuk
tempat rehabilitasi di RSJ Bangli ini.
Masuk di jenjang SMA kelas satu, Agus Broklin mulai mengenal
sabu-sabu. Pesta sabu kerap ia gelar setiap malam minggu ketika berkumpul
bersama teman sesama pengguna.
Cukup keluar duit Rp 10 ribu kala itu, dirinya sudah bisa
mengisap sabu-sabu. Agus menyebut dirinya cuma sebatas ikut-ikutan teman agar
dirinya diterima dalam pergaulan.
"Istilahnya waktu itu kami urunan. Keluar uang Rp 10
ribu satu orang, terus nyabu bareng-bareng," tuturnya.
Rutin menggunakan sabu membuat Agus Broklin kecanduan dan
penasaran dengan barang baru. Akhirnya kelas tiga SMA ia mulai mengenal putau.
Tingkat kecanduannya pun makin bertambah.
Awalnya ia menggunakan putau seminggu sekali yang ia beli
tahun 1999 seharga Rp 25 ribu satu paket. Kecanduan terus bertambah, Agus pun
akhirnya menggunakan putau empat hari sekali.
"Dari seminggu sekali awalnya, terus empat hari sekali,
terus setiap hari. Nah pas setiap harinya ini benar-benar menderita saya,
karena tiap hari harus dapat barang. Kalau gak dapat pasti sakau,"
tuturnya.
Meski aktif menjadi pengguna narkoba kala itu, namun Agus
masih bisa menyelesaikan sekolahnya. Tamat SMA, ia pun kuliah sebagaimana
teman-temannya yang lain.
Namun akhirnya karena tingkat kecanduan yang sudah parah,
Agus tak mampu melanjutkan kuliahnya.
Dikasi Obat Penenang
Keseharian Agus yang seorang pecandu berat membuat
orangtuanya curiga dan akhirnya mengetahui bahwa anaknya telah menjadi pengguna
narkoba.
"Waktu itu dosis yang saya gunakan sudah parah.
Akhirnya saya direhabilitasi di RSJ Bangli tahun 2000,” ujarnya.
“Di sana aktivitas saya cuma makan tidur makan tidur saja.
Kalau sakau dikasih obat penenang oleh dokter. Gitu-gitu aja di sana dan
menurut saya kurang efektif," katanya.
Alih-alih lepas dari jeratan zat adiktif itu, setelah masa
perawatan di RSJ Bangli Agus Broklin justru kembali menjadi pengguna.
Bahkan, banyak narkoba jenis baru yang ia kenal setelah
bergaul dengan teman-temannya di RSJ Bangli yang juga pengguna narkoba.
"Awalnya kan cuma teman-teman yang biasa ajak kumpul
saja saya kenalnya dengan barang itu. Nah akhirnya di Bangli juga dikenalkan
dengan barang baru lagi. Jadinya semakin tambah teman pengguna, dan jaringan,
akhirnya saya makai lagi," tutur pria yang kini berusia 37 tahun itu.
Tingkah Agus kembali diketahui oleh orangtuanya, ia pun
kembali harus direhab di RSJ Bangli. Namun, hal yang sama kembali terjadi:
setelah keluar, ia tetap menjadi pecandu bahkan semakin parah.
RSJ Bangli rupanya benar-benar ajang berbagi pengalaman
kenikmatan berbagai jenis zat adiktif bagi mereka.
Uang jajan dari orangtua yang semakin dibatasi sempat
membuat Agus frustasi lantaran tak bisa membeli obat haram tersebut.
Namun, yang namanya pecandu, ia pun melakukan segala cara
agar mendapatkan uang. Awalnya ia cuma menjual barang-barang miliknya di kamar.
"Barang-barang di kamar semua habis terjual. Tape,
televisi, semua habis. Setelah barang-barang di kamar habis, motor saya gadaikan
untuk dapatkan barang, terus barang-barang di rumah juga semua saya jual. uang
ibu saya curi, uang bapak saya curi," terang Agus menceritakan
kelakukannya saat masih menjadi pecandu berat.
Setelah hampir semua barang-barang miliknya dan keluarganya
ludes akibat narkoba, orangtua Agus akhirnya tak tahan lagi. Agus pun diusir
secara paksa oleh orangtuanya.
Hampir enam bulan Agus menjalani kehidupan di luar rumahnya.
Selama itu, ia tidur di emperan toko, di terminal, dan menginap di rumah
teman-temannya yang sesama pengguna.
Meski di luar rumah, Agus tetap melakukan segala cara untuk
mendapatkan uang. Mulai dari mencuri helm, dan digadaikan dengan obat-obatan,
hingga menipu orang.
"Pokoknya waktu itu apapun akan saya lakukan. Pikiran
saya waktu itu, gimana pun caranya pagi saya harus dapat obat. Semua saya
lakukan termasuk kriminal. Mencuri di supermarket juga pernah," tutur Agus
Broklin.
Bagi Broklin, hidupnya ketika berada di luar rumah sangat
broken, dan penuh dengan aksi kriminalitas. Hampir semua bentuk kejahatan
pernah ia perbuat demi mendapatkan barang haram tersebut.
"Pernah saya kepergok waktu maling helm di Kesiman.
Saya dikeroyok habis-habisan oleh warga, untung saya tidak sampai meninggal
waktu itu," kenangnya.
Selama masih menjadi pengguna narkoba, Agus dan
kawan-kawannya mengaku sempat beberapa kali digerebek oleh pihak kepolisian.
Hanya saja, ia mengaku setiap diproses di pengadilan selalu bisa lolos lantaran
ada yang “mengurus”.
"Pernah saya ketangkep di Sukawati, tapi sudah diurus,
dan bisa bebas. Yang bikin keluarga saya malu justru bukan karena saya
ditangkap pakai narkoba, tapi pada saat saya ditangkap mencuri barang. Waktu
itu keluarga benar-benar malu," tutur ayah satu anak ini.
Meski pernah tertangkap mencuri, namun Agus tak juga
mendekam di dalam sel tahanan. Ia cuma merasakan ruangan jeruji besi itu paling
lama sebulan.
Hingga akhirnya pada tahun 2002, Broklin mulai dikenalkan
dengan Yayasan Kesehatan Bali yang beralamat di Jalan Ciung Wanara IV B No 2
Renon, Denpasar. Di sana ia kembali menjalani rehabilitasi.
Menghilangkan candu narkoba rupanya bukan perkara yang
mudah. Walau sudah direhabilitasi di Yakeba, Broklin awalnya belum konsisten
untuk berhenti. Ia cuma bisa mengendalikan diri dari candu narkoba selama dua
tahun.
Setelah dua tahun dirawat dan ikut terlibat dalam berbagai
kegiatan di Yakeba, Broklin ternyata kembali terjerumus.
"Karena sering bawa jarum suntik ke teman-teman, saya
tidak bisa mengendalikan diri, dan akhirnya makai lagi. Gitu-gitu aja terus
hidup saya dulu," ujar Broklin.
Broklin baru bisa putus dari ketergantungan obat terlarang
itu sejak 2010 silam. Waktu itu, selain karena faktor barang yang memang sudah
semakin sulit didapatkan, bimbingan teman-temannya di Yakeba yang selalu
mendukung dirinya membuat Broklin benar-benar meneguhkan hatinya untuk berhenti
menggunakan narkoba. Sampai saat ini, Broklin mengaku tidak pernah lagi menggunakan
narkoba.
"Saya bersyukur sekali kenal dengan Yakeba ini.
Akhirnya bertemu teman yang benar-benar saling support," ucap Broklin,
yang kini dipercaya sebagai salah satu konselor di Yakeba bersama 15
teman-temannya yang juga mantan pecandu narkoba.
Masih banyak kisah menyedihkan dialami Broklin yang tak bisa
ia sampaikan satu per satu hingga akhirnya lepas dari jerat narkoba.
"Sepertinya mati saja saya belum pernah dulu," tandasnya.
Pengalaman pahit juga dituturkan oleh mantan pecandu narkoba
kelas berat, Dudy Rohadi. Pria asli Sulawesi yang sejak lahir tinggal di
Denpasar ini juga mengenal narkoba sejak duduk di bangku kelas dua SMA tahun
1989.
Awal mula Dudy terjerat narkoba karena pergaulan pemabuk.
Minimnya informasi tentang narkoba kala itu membuat Dudy akhirnya menjadi
pecandu narkoba kelas berat.
"Awalnya karena pergaulan alkohol dan lingkungan yang
dekat dengan hiburan malam di Sanur," tutur pria yang kini berusia 44
tahun ini.
Meski sering jatuh tabrakan akibat mabuk alkohol, Dudy kala
itu tetap terjerumus di lubang kelam.
Rasa penasarannya terhadap obat-obat yang sedang tren waktu
itu seperti pil koplo, benzodia, metadon, dan nipam tak terbendung.
"Lama-lama meningkat penggunaan narkoba saya. Dari
alkohol, benzodia, terus ke heroin hingga ekstasi dan sabu-sabu," ungkap pria yang kini sudah berhenti menjadi
penguna narkoba sejak 2008 silam.
Sebelum dirinya berhasil berhenti menjadi pengguna, dan
bekerja di Yayasan Kasih Kita Bali, Dudy
sempat pula mengalami masa-masa yang teramat berat dalam hidupnya.
Pengalaman sakau sudah biasa ia alami. Demi bisa memenuhi
kebutuhan zat adiktif, Dudy bahkan dulunya rela menggadaikan alat penghalus
aspal demi bisa mendapatkan paket narkoba.
"Waktu itu, saking sakitnya tidak tahan saya . Karena
kehabisan akal, saya ambil mesin penghalus aspal di gang, saya bawa ke
bandarnya biar dapat barang. Sampai kaget bandarnya, karena dia kasihan sama
saya, dikasih gratis akhirnya, begitulah kebatilan," tutur pria yang
sempat berkali-kali melakukan aksi kriminal akibat kecanduan narkoba.
Selama tahun 2000 sampai 2004, Dudy sempat berhenti menjadi
pengguna narkoba. Rasa sakit dan tidak bisa tidur ia lalui selama tiga bulan
demi bisa berhenti terjerat zat berbahaya tersebut.
Namun apes, keteguhan hatinya cuma bertahan empat tahun.
Setelah 2004, Dudy kembali terjerumus sehingga akhirnya ia dikenalkan dengan
program narkotik anonimous atau program 12 langkah di Yakita Bali.
"2008 itu saya menyerah. Saya ikuti program narkotik
anonimus itu. Awalnya saya tidak mengerti dan bertanya-tanya ini agama apa lagi
dikenalkan kepada saya, tapi lama-lama akhirnya ketemu titiknya, sampai
sekarang mudah-mudahan saya masih bisa," ujar Dudy.
No comments:
Post a Comment